top of page

Menikah: Antara Idealisme Selangit dan Realita di Bumi

  • Writer: Sa’id Al Falahi, S.H.I
    Sa’id Al Falahi, S.H.I
  • Aug 16
  • 5 min read
Oleh Sa'id Al Falahi, S.H.I., Wakil Kepala Urusan Kesiswaan SMAMIX (Aksara/(Istimewa)
Oleh Sa'id Al Falahi, S.H.I., Wakil Kepala Urusan Kesiswaan SMAMIX (Aksara/(Istimewa)

Aksara - Menikah adalah dambaan fitrah setiap insan. Lebih dari sekadar status, ia adalah sebuah gerbang menuju babak baru kehidupan yang dipandang sebagai penyempurna ibadah, sebagaimana diajarkan dalam sunnah Nabi Muhammad SAW. Namun, di tengah romantisasi pernikahan, kita kerap lupa bahwa membangun mahligai rumah tangga tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ia adalah sebuah akad suci, sebuah janji untuk selamanya yang menuntut persiapan lahir dan batin yang sungguh-sungguh. Persiapan ini bukanlah sekadar tentang resepsi megah atau gaun yang indah, melainkan tentang fondasi yang akan menopang bangunan rumah tangga hingga akhir hayat.

 

Fondasi pertama dan utama adalah ilmu. Pepatah "berilmulah sebelum beramal" menemukan relevansinya yang paling kuat di sini. Tanpa ilmu tentang hak dan kewajiban suami-istri, cara mengelola konflik, hingga pendidikan anak, sebuah pernikahan akan berjalan tanpa arah, rentan tersesat di tengah badai kehidupan. Mencari ilmu tentang pernikahan ini penting, baik melalui buku, kajian, maupun bertanya kepada orang yang dipercaya.

 

Selaras dengan ilmu, kesiapan mental adalah pilar berikutnya. Pernikahan adalah penyatuan dua kepala dengan emosi dan latar belakang yang berbeda. Tanpa mental yang dewasa dan stabil, ego akan menjadi raja, dan konflik-konflik kecil pun dapat membesar menjadi api yang menghancurkan. Jika merasa belum siap, menunda adalah sebuah pilihan bijak. Namun, bagi seorang perempuan, manakala datang seorang pria yang sholeh dan baik agamanya datang melamar, maka tidak boleh ditolak.

 

Tentu, kesiapan finansial juga menjadi penopang yang tidak bisa diabaikan. Bukan berarti harus bergelimang harta, namun memiliki kemandirian finansial yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar adalah sebuah bentuk tanggung jawab. Pernikahan yang dimulai dengan utang karena gengsi resepsi mewah seringkali menjadi awal dari masalah-masalah berikutnya. Kuncinya adalah mengukur kemampuan, bukan menuruti gengsi dan keinginan semua orang.

 

Lalu, siapa yang akan menjadi teman seperjalanan? Memilih calon pasangan adalah salah satu keputusan terpenting dalam hidup. Islam memberikan panduan kriteria: harta, keturunan, rupa, dan agamanya. Walaupun ketiganya adalah bonus yang menyenangkan, agama dan akhlak adalah fondasi yang tidak bisa ditawar. Ingatlah sebuah prinsip penting: "Jodoh adalah cerminan diri." Mustahil mendambakan pasangan yang ideal jika kita sendiri enggan memperbaiki diri. Maka, perjalanan mencari jodoh sesungguhnya adalah perjalanan memantaskan diri.

 

Di tengah perjalanan persiapan ini, jangan pernah merasa berjalan sendirian. Serap nasihat para senior, terutama orang tua. Jangan sungkan untuk bertanya, walaupun terkadang merasa tabu. Lebih baik bertanya daripada sesat di jalan. Dengan bertanya, maka anda akan mendapat solusi dan jalan keluar dari masalah anda. Nikmat yang besar yang di miliki seorang muslim diantaranya adalah memiliki guru yang baik dan berkah. Maka senantiasa lah memiliki guru dan dekatlah dengan gurumu. Jika orang tuamu yang melahirkan dan merawatmu maka gurumulah yang membimbing dan menunjukimu menuju kebaikan dunia dan akhiratmu

 

 

Dilema Menikah di Usia Muda

Salah satu diskusi yang tak pernah usai adalah tentang menikah di usia muda. Di satu sisi, ia menawarkan benteng dari perbuatan zina, menenangkan hati, dan menjadi momen romantis dengan stamina yang masih prima. Namun di sisi lain, usia muda seringkali identik dengan emosi yang labil, minimnya pengalaman dalam menghadapi konflik, dan kondisi finansial yang belum mapan. Tidak ada jawaban tunggal yang benar untuk semua orang. Setiap individu harus menimbang kondisi, kesiapan ilmu, mental, dan finansialnya masing-masing.

 

Poin pertama yang menarik adalah "teori umur nikah" yang menggambarkan bagaimana ekspektasi seorang wanita dapat bergeser seiring berjalannya waktu. Ini bukanlah sebuah penghakiman, melainkan sebuah pengamatan sosial yang cukup relevan.

 

  • Usia 15-25: "Sopo Aku, Sopo Awakmu" (Siapa Aku, Siapa Kamu) Fase ini adalah panggung idealisme. Berbekal energi masa muda dan impian yang melangit, seorang wanita sering kali berada dalam posisi memilih dan memilah dengan standar setinggi mungkin. Ia sedang membangun identitasnya ("sopo aku"), dan secara bersamaan, menyeleksi dengan ketat siapa yang pantas mendampinginya ("sopo awakmu"). Ini adalah masa di mana kriteria fisik dan status sosial sering kali mendominasi daftar.

 

  • Usia 26-35: "Iki Aku, Sopo Awakmu" (Inilah Aku, Siapa Kamu) Memasuki fase ini, seorang wanita biasanya sudah lebih matang. Ia telah memiliki pencapaian, karier, atau setidaknya pemahaman yang lebih solid tentang siapa dirinya. Pernyataannya berubah menjadi "Inilah aku," sebuah deklarasi tentang nilai dan apa yang bisa ia tawarkan dalam sebuah hubungan. Standar tetap ada, namun kini lebih didasari pada kesetaraan dan pemahaman yang lebih dalam, bukan lagi sekadar fantasi. Pertanyaannya menjadi lebih tegas: "Kamu siapa, dan apa yang bisa kita bangun bersama?"

 

  • Usia 36 ke atas: "Sopo-sopo Gelem" (Siapa Saja Mau) Meski terdengar pesimistis, frasa ini sebenarnya mencerminkan sebuah pergeseran prioritas yang drastis. Di tahap ini, pengalaman hidup mengajarkan bahwa kriteria superfisial seperti kekayaan atau ketampanan bukanlah segalanya. Fokus beralih pada esensi: teman hidup, pendamping di hari tua, dan seseorang yang bisa memberikan ketenangan. Ini bukan tentang keputusasaan, melainkan tentang kebijaksanaan dalam memahami bahwa yang terpenting adalah komitmen dan kecocokan jiwa, bukan lagi daftar kriteria yang kaku.

 

Kriteria Mencari Jodoh yang Ideal

Daftar kriteria jodoh yang disebutkan—Kaya, Ganteng, Keturunan Baik, dan Agama yang Baik—adalah cerminan dari dambaan yang wajar. Manusia secara alami menginginkan yang terbaik. Namun, pendekatan yang diusulkan sangatlah bijak: mulai dari yang ideal, namun pahami apa yang menjadi minimal.

 

Menempatkan kekayaan dan penampilan di urutan atas adalah hal yang lumrah, namun menyadari bahwa ini adalah "bonus" adalah sebuah kedewasaan. Konsep "menurunkan grade" adalah latihan mengelola ekspektasi. Puncaknya adalah penetapan standar minimal yang tidak bisa ditawar: baik agamanya.

 

Mengapa ini menjadi keutamaan? Karena agama (dalam artian akhlak dan moralitas) adalah kompas yang akan menuntun sebuah bahtera rumah tangga. Harta bisa habis, ketampanan bisa memudar, tetapi pemahaman agama yang baik akan membentuk karakter, tanggung jawab, dan cara menghadapi konflik. Ia adalah jangkar yang menjaga pernikahan tetap kokoh di tengah badai.

 

Prinsip Cermin: Jodoh Adalah Refleksi Diri

Inilah inti dari seluruh perbincangan ini: "Jodoh itu cerminan diri." Nasihat ini adalah tamparan lembut namun menyadarkan. Bagaimana mungkin kita menuntut pasangan yang ideal jika kita sendiri jauh dari kata itu?

  • Ingin pasangan yang kaya? Sudahkah kita menjadi pribadi yang pekerja keras, mandiri secara finansial, dan pandai mengelola keuangan?

  • Mendamba pasangan yang ganteng/cantik? Sudahkah kita merawat diri sebagai bentuk syukur dan menghargai diri sendiri?

  • Mengharap dari keturunan orang baik? Sudahkah kita menjaga akhlak dan nama baik keluarga kita sendiri?

  • Memimpikan pasangan yang baik agamanya? Sudahkah kita berjuang memperbaiki ibadah, akhlak, dan kedekatan kita dengan Tuhan?

 

Prinsip ini mengubah pencarian jodoh dari sekadar "mencari" menjadi "menjadi". Perbaiki diri, tingkatkan kualitas diri, maka InsyaAllah, kita akan menarik seseorang yang sepadan. Kalau anda tidak ideal, bagaimana mungkin berharap mendapatkan pasangan yang ideal.. pikirkanlah..!

 

Menikah Muda: Berkah dan Tantangannya

Menikah di usia muda adalah pilihan yang menawarkan dua sisi mata uang.

 

Sisi Positifnya adalah benteng. Ia menjadi benteng dari zina, memberikan ketenangan hati, dan memungkinkan pasangan untuk menyalurkan energi dan romantisme masa muda di jalan yang halal. Stamina yang prima dan kesempatan memiliki keturunan lebih banyak juga menjadi nilai tambah yang tidak bisa diabaikan. Ini adalah jalan untuk tumbuh dewasa bersama-sama, dari nol.

 

Sisi Negatifnya adalah ujian. Emosi yang belum stabil membuat pernikahan rentan konflik. Kurangnya pengalaman hidup menjadi tantangan saat menghadapi masalah. Keterbatasan ilmu dan kondisi finansial yang belum mapan dapat menjadi tekanan berat dalam mengurus anak dan rumah tangga.

 

Lalu, mana yang harus dipilih? Jawabannya kembali kepada individu. Tidak ada formula tunggal. Kuncinya adalah kesiapan, bukan sekadar keinginan. Siapkah secara emosional untuk mengelola ego? Siapkah secara mental untuk memikul tanggung jawab? Siapkah secara spiritual untuk saling membimbing?

 

Pada akhirnya, perjalanan menemukan jodoh adalah sebuah seni menyeimbangkan antara idealisme dan realitas. Ia bukan garis finis, melainkan garis start dari sebuah perjalanan panjang yang menuntut pembelajaran seumur hidup. Dengan membekali diri melalui ilmu, mematangkan mental, mempersiapkan finansial, memilih pasangan karena agamanya, dan senantiasa mencari bimbingan, insyaAllah perjalanan sakral ini akan menjadi sumber kebahagiaan dunia dan akhirat.


Penulis Sa’id Al Falahi, S.H.I (Waka Kesiswaan)


Comments


bottom of page